KONTESTASI PEMILU 2024, Pileg, Pilpres dan Pilkada Serentak, merupakan kompetisi terberat bagi Partai-partai baru karena harus bersaing ketat dengan 18 partai politik yang bertarung merebut kursi parlemen pada tingkat DPR RI, DPRD Propinsi/Kab/Kota pada Pileg 2024, yang digelar pada 38 provinsi dan 514 kab/kota diseluruh Indonesia.
Pemilihan legistatif dan pemilihan presiden 2024 dilaksanakan, pada tanggal 14 Februari 2024, Pilkada Serentak dilaksanakan di berbagai daerah. Selang 287 hari, dilakukan pilkada serentak tersebut merupakan ruang waktu yang sempit dan terbatasnya masa kampanye, bagi para calon kandidat kepala daerah dalam memperoleh simpati masyarakat konstituennya dan elektoral.
Singkatnya masa kampanye dan konsentrasi parpol dalam pileg dan pilpres Pemilu 2024, secara tidak langsung dapat menguntungkan kandidat petahana.
Menurut pengamat Praktisi komunikasi politik, yang juga Ketua Bappilu Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) Sumsel, HM.Albahori,M.Ikom, memperkuat pandangan kandidat petahana tersebut dengan 3 alasannya terkait dengan keuntungan kandidat petahana pada Pilkada 2024 mendatang:
Pertama, pembatasan masa kampanye dengan ruang waktu yang cukup relatif sempit, membuat kandidat penantang tidak mempunyai waktu yang cukup panjang dalam melakukan strategi komunikasi dalam meningkatkan popularitas dan elektabilitas mencakup personal branding, political branding dan political marketing.
Sehingga optimalisasi branding tidak berjalan baik dan maksimal, sementara kandidat petahana atau incumbent, berpotensi dan peluang lebih terbuka karena secara persiapan, perencanaan dan pelaksanaan strategi komunikasi (branding ) dapat dilakukan secara efektif dan masif dan tingkat popularitas dan elektabilitas kandidat petahana akan meningkat. Hal ini dapat dilihat dari hasil pra-survey petahana cukup tinggi di bandingkan dengan calon kandidat rivalitasnya.
Kedua, kandidat petahana secara kinerja pemerintahan yang berprestasi baik, tentunya tingkat popularitasnya semakin tinggi. Hal ini posisi petahana semakin kuat di mata publik, indikatornya dapat kita amati hasil pra- survey oleh petahana yang cenderung lebih tinggi dari pada rivalitasnya.
Alasan ketiga, aspek phisikologis dapat menurunkan tingkat emosional pemilih, yang dapat menurunkan partisipasi publik pada pilkada serentak, karena kejenuhan dan konsentrasi pada Pileg dan Pilpres, akibatnya minat dan atensi publik pada Pilkada Serentak dapat saja menurun seperti yang terjadi pada Pemilu 2019.