Palembang, Detiksumsel.com -- Sejarahnya, Pasar Cinde dibangun pada tahun 1958, ketika Indonesia merdeka. Pasar ini awalnya dikenal sebagai pasar Lingkis, karena pada awal pendiriannya banyak sekali pedagang dari daerah Lingkis Ogan Komering Ilir (OKI), sebelum akhirnya dilakukan pembangunan secara permanen. Nama Lingkis pun saat ini tetap ada dan menjadi sebuah lorong di jalan KS Tubun di sekitar SMA Negeri 15 sekarang.
Menurut Dr Dedi Irwanto, MHum, sejarawan dari Unsri, Cinde merupakan pasar modern pertama di Palembang, Khususnya di Sumsel.
Pasar Cinde sudah berumur 59 tahun da masuk sebagai salah satu cagar budaya tingkat kota sesuai SK Wali Kota Palembang Nomor 179a/KPTS/DISBUD/2017 tanggal 31 Maret 2017 dan terdaftar dalam Objek Registrasi Nasional Cagar Budaya dengan Nomor ID Pendaftaran Objek PO2016063000005 tanggal 30 Juni 2016.
Arsitektur bangunan pasar Cinde ini mirip dengan Pasar Johar Semarang yang dibangun oleh kolonial Belanda tahun 1930-an,
Pada bangunan ini terletak ciri khas berupa tiang cendawan yang menopang menjulang bangunan.
Pasar Cinde berlokasi di jalan Sudirman, setelah mulai direvitalisasi pada tahun 2018 kondisi pasar masih terkesan kumuh dan saat ini kondisi bangunan di dalam pasar masih belum rapih karena proyek yang belum rampung.
Dulunya diarea pasar Cinde terdapat makam dari beberapa tokoh kesultanan Darusallam, jika dipetakan, kawasan tersebut membentang dari posisi makam Sunan di dekat pasar Cinde, jalan Cinde Welan, International Plaza, jalan Serelo, jalan Kebun Jahe, jalan Kolonel Atmo hingga Angsoko.
Namun makam-makam ini sudah dipindahkan ke tempat pemakaman baru yang disebut dengan Kandang Kawat, Kandang Kawat Dukuh, Talang Ilir atau Kamboja dan Puncak Sekuning.
Nama Cinde
Menurut pemerhati Sejarah Kota Palembang, Rd Muhammad Ikhsan, nama Cinde berasal dari nama petilasan pangeran Ario Kusumo Abdulrohim saat muda yaitu Kimas Hindi, dan ada kemungkinan lafal cinde dari nama Hindi.
Karena dari tulisan aksara Arab berbahasa Melayu, penulisan dan pelafalan tidak sama, dan kemudian petilasan pada masa akhirnya dijadikan makam di Cinde Walang.
Pada masa pembangunannya, pasar Cinde sempat mengalami kendala sengketa lahan dengan eigendom keluarga Lim, namun setelah proses panjang akhirnya mencapai kesepakatan antara pemerintah dan keluarga Lim.
Pasar Cinde Saat Ini
Dengan banyaknya pedagang dan lapak baru yang muncul pasar Cinde saat ini sudah lebih berkembang dengan penawaran barang yang lebih beragam, mulai dari bahan pokok, buah-buahan, barang bekas dan yang lainya.
Keunikan pasar Cinde sudah dikenal bahkan sampai ke luar kota, entah dimulai dari kapan, pasar ini terkenal dengan penjualan barang bekasnya, mulai dari besi bekas, peralatan militer, dan barang antik. Selain itu, pada hari Minggu tak jarang di sepanjang trotoar banyak penjual batu Akik dan pecinta batu yang datang ke pasar Cinde Palembang.
Pasar modern Cinde di Kota Palembang yang telah menjadi bangunan cagar budaya, tahun 2017 dirobohkan dan rencananya berganti pasar modern Aldiron Plaza Cinde. Saat itu, ini sempat menuai kritik keras dari para aktivis, akademisi dan praktisi di Sumatera Selatan.
Mereka menilai Pasar Cinde merupakan salah satu ikon Palembang seperti halnya Jembatan Ampera, Benteng Kuto Besak, dan Bukit Siguntang. Sehingga harus dilestarikan.
Dr Retno Purwanti, arkeolog menyebut bahwa
Pasar Cinde merupakan cagar budaya. Sama seperti cagar budaya lainnya yang ada di Palembang, yakni Mesjid Agung, Benteng Kuto Besak, Kawah Tengkurep, dan Makam Sabokingking.
Seperti dikutip dari Tempo, Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Sumatera Selatan, Zubair Angkasa, menegaskan kalau Pasar Tradisonal Cinde dibongkar maka Kota Palembang kehilangan bangunan dengan arsitek yang unik. Pasar Tradisional Cinde dibangun pada 1958 dengan melirik arsitek Thomas Karsten, dengan struktur utama memakai kontruksi cendawan seperti Pasar Djohar di Semarang. Pasar ini telah menjadi ikon yang memberikan identitas masyarakat dan Kota Palembang.
“Pasar Tradisional Cinde sebagai landmark kota. Sayanglah kalau dibongkar, cukup di revitalisasi saja,” ujarnya seperti dirilis Tempo tahun 2017.
Menurutnya, pelestarian mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya itu penting, caranya dengan perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan.
“Bila ada kerusakan, kehancuran dan kemusnahan, ya diselamatkan, diamankan, dipelihara dan dipugarkan. Bukan dibongkar,” tegasnya.
Sementara itu, seperti pernah diberitakan di Media Indonesia, Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) meminta penjelasan kepada Wali Kota Palembang dasar hukum atas pembongkaran Pasar Cinde yang telah ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya tanpa memperhatikan tim kajian yang telah dibentuk Pemerintah Provinsi Sumatra Selatan dan Pemkot Palembang.
IAAI juga meminta penjelasan kepada PT Magna Beatum alasan pembongkaran pasar tersebut untuk diganti dengan bangunan baru yang tidak mengindahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya terkait dengan status bangunan pasar yang telah ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya oleh Wali Kota Palembang serta dibuatnya rancangan bangunan pasar
pengganti dengan mengabaikan kemungkinan revitalisasi dan adaptasi cagar budaya. "Setelah ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya sesuai dengan Surat Keputusan Wali Kota Palembang Non 179a/KPTS/DIKBUD/2017 tertanggal 31 Maret 2017, pembangunan Pasar Cinde oleh PT Magna Beatum melanggar Pasal 66 dalam UU No 11/2010 tentang larangan merusak cagar budaya," kata Ketua Umum IAAI, W Djuwita S Ramelan, melalui keterangan tertulis, Jumat (6/10/2017). Karena itu, lanjut Djuwita, pihaknya meminta Pemkot Palembang segera menghentikan pembongkaran Pasar Cinde dari kerusakan yang lebih jauh dan berpotensi memusnahkannya.
Sebelumnya, pada 9 September 2017, Pasar Cinde yang berlokasi di Jalan Jenderal Sudirman 24, Ilir, Bukit Kecil, Palembang, Sumsel, dibongkar karena akan dibangun kembali menjadi pasar modern. Pembangunan kembali pasar sebenarnya telah memunculkan polemik sejak Mei 2016. Protes dari masyarakat yang diwakili kelompok pelestari budaya, seperti SaveCinde dan asosiasi profesi Ikatan Arsitek Indonesia. Berdasarkan sejarahnya, Pasar Cinde didirikan oleh arsitek pertama di Indonesia yakni Abikusno
Tjokrosoejoso, mantan Menteri Pekerjaan Umum yang juga adik kandung HOS Tjokroaminoto dan merupakan salah satu bangunan yang didirikan oleh anak bangsa pertama di Kota Palembang. "Arsitektur Pasar Cinde merupakan bangunan berstruktur tiang penyangga berbentuk cendawan yang unik rancangannya dan sekarang merupakan satu-satunya yang tersisa setelah Pasar Johar di Semarang, Jawa Tengah, ludes terbakar," terang Djuwita, dalam keterangannya.
Berdasarkan keunikannya itu pula, Pasar Cinde telah ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya sesuai dengan SK Wali Kota Palembang Non 179a/KPTS/DIKBUD/2017 tertanggal 31 Maret 2017 dan terdaftar dalam Objek Registrasi Nasional Cagar Budaya dengan Nomor ID Pendaftaran Objek PO2016063000005 tertanggal 30 Juni 2016.
Kini, Pemprov Sumsel siap menganggarkan kembali pembangunan Pasar Cinde, jika opini penegak hukum membolehkan untuk itu. Gubernur Sumsel H Herman Deru menyebut, kontrak pihak pelaksana sudah diputus. Karena, ternyata mereka dinilai telah wan prestasi. Akibatnya, pembangunan pasar modern Cinde pun mangkrak.
"Kami masih menunggu opini dari penegak hukum. Apakah masih bisa kita anggarkan sendiri, itu yang masih kita
mintakan opini dari penegak hukum," ujarnya saat meninjau kebakaran Cinde yang terjadi Minggu (27/11/2022). (mn/**)