Lahat, Detiksumsel.com - Kemarau panjang yang juga melanda Kabupaten Lahat, nampaknya juga berdampak pada lingkungan di masyarakat. Terutama di Kecamatan Merapi Area, yang merupakan wilayah pertambangan batubara dan wilayah operasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Walau tidak seperti di Kota Jakarta, yang saat ini tengah dikepung oleh polusi udara. Namun banyaknya perusahaan tambang batubara dan adanya dua PLTU yang beroperasi, potensi pencemaran udara di Kabupaten Lahat tidak bisa terelakan.
Pasalnya, ketika di musim hujan saja, warga di Kecamatan Merapi Area selama ini selalu dihantui rasa takut akan buruknya kualitas udara. Karena selain asap yang mengembul keluar dari cerobong PLTU, limbah Fly Ash dan Bottom Ash (FABA), berupa partikel halus (berupa abu) hasil pembakaran batubara, kemungkinan besar ikut terbang dibawa udara, jika tidak dikelola dengan baik dan benar.
Menanggapi apakah aktifitas PLTU juga mempengaruhi kualitas udara, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Lahat, Ir Agus Salman, melalui Kabid Pengelolaan Sampah dan Limbah B3, Indra Buana mengatakan, tidak dapat dielakkan, setiap aktifitas pertambangan dan PLTU pasti akan berdampak pada lingkungan. Salah satunya juga akan berdampak pada kualitas udara.
"Karena itu, setiap PLTU harus mempunyai rencana pengendalian lingkungan, yang tertuang dalam sebuah komitmen di dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) tiap perusahaan. Untuk di Lahat ada dua PLTU, yakni PLTU Keban Agung milik PT Priamanaya Energi dan PLTU Banjarsari milik PT BPI," kata Indra Buana, Kamis (24/8/2023).
Menurut Indra, selain asap yang keluar dari cerobong asap PLTU, limbah Ply Ash dari Faba, bisa saja ikut terbawa oleh angin ke udara. Mengingat limbah tersebut cukup ringan untuk terbang dibawa oleh angin. Menurutnya, meskipun Faba saat ini sudah tidak masuk kategori Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), Faba tetap berstatus limbah dan berbahaya bagi manusia.
"Faba memang tidak lagi masuk kategori B3, tapi Ply Ash yang bisa beterbangan itu, tetap berbahaya bagi manusia," ucapnya.
Untuk meminimalisir dampak kualitas udara akibat adanya PLTU, Indra menjelaskan, setiap PLTU harus miliki dan menjalankan fungsi pengelolaan dan pemanfaatan Faba. Artinya limbah Faba yang dihasilkan harus dikelola dengan baik dan benar. Seperti tersedianya kolam airi Lindi atau tempat penampungan limbah Faba.
"Untuk meminimalisir dampak pencemaran udara, yang punya AMDAL wajib lakukan pemantauan dan melaporkan. Pelaporannya ya ke kita. Pelaporan ada yang tiga bulan sekali, sesuai dengan komitmen yang tertera di AMDAL," jelasnya.
Sedangkan untuk pemanfaatan, limbah Faba tersebut bisa dijadikan sebuah produk ekonomis seperti batako dan paving blok. Dengan pola dikelola mandiri atau dikelola oleh pihak ke tiga. Namun tentunya, juga harus merubah AMDAl terkait pemanfaatan limbah Faba tersebut.
"Dalam waktu dekat kita akan lihat ke perusahaan secara langsung. Yang kita tekankan, lebih ke pengelolaan kualitas udara di cerobong, dan penampungan limbah faba. Datanya dari pemantauan perusahaan sendiri. Jika perusahaan tak mau perlihatkan data laporan itu, tentu jadi tanda tanya," tegas Indra. (Heru)